Generasi Z – mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 – adalah generasi pertama yang tumbuh besar bersama teknologi digital. Tak heran, dunia virtual menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian mereka. Salah satu aktivitas digital yang paling menonjol di kalangan Gen Z adalah bermain game online. Namun, di balik keseruan dunia digital ini, muncul pertanyaan besar: apakah mereka masih mampu membedakan dunia nyata dan dunia game?
Game online modern bukan lagi sekadar permainan hiburan. Dengan grafis canggih, alur cerita yang mendalam, dan komunitas global, banyak game kini menghadirkan pengalaman yang begitu imersif hingga terasa seperti dunia nyata. Gen Z yang tumbuh bersama teknologi ini sangat cepat beradaptasi—mereka bisa membentuk identitas virtual, membangun reputasi online, hingga menjalin hubungan sosial dalam dunia game.
Namun, di sinilah persoalan dimulai. Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan game online secara berlebihan dapat menyebabkan kecanduan digital, yang berdampak pada kesehatan mental dan sosial. Banyak remaja mulai kehilangan minat pada interaksi di dunia nyata, mengalami gangguan tidur, hingga menurunnya prestasi akademik.
Fenomena ini menjadi perhatian khusus bagi para orang tua, pendidik, dan profesional kesehatan mental. Meski tidak semua penggunaan game berdampak negatif, namun ketika waktu bermain tak lagi terkontrol, batas antara realitas digital dan kehidupan nyata mulai kabur. Dalam kasus ekstrem, beberapa remaja merasa lebih “hidup” dalam game daripada di dunia nyata.
Namun tentu tidak semua sisi gelap. Dunia game online juga dapat menjadi sarana ekspresi diri, kreativitas, hingga melatih kerja sama tim dan pemecahan masalah. Kuncinya terletak pada kesadaran digital—bagaimana Gen Z, dengan bimbingan yang tepat, dapat memanfaatkan dunia game secara sehat dan seimbang.
Di era digital ini, penting bagi kita semua untuk mengenali perubahan pola hidup generasi muda. Game online adalah bagian dari dunia mereka, tapi bukan berarti kita harus membiarkan mereka kehilangan pijakan di dunia nyata. Edukasi, pendampingan, dan komunikasi terbuka menjadi kunci agar batas antara dua dunia itu tetap jelas.